Pelukan ialah jembatan. Yang merentangi nasib, jalan dan ucapan; juga kesedihan.

Aku menulis bukan semata-mata karena aku ingin menjadi penulis. Aku menulis, karena aku ingin menulis. Seperti halnya aku mencintaimu. Memang benar, cita-citaku adalah menjadi suamimu (yang mengecup keningmu, ketika kebetulan aku terbangun lebih dulu). Tapi tidak semata karena itu. Aku mencintimu, karena aku ingin mencintaimu. Seperti itu.

Apalah artinya kesedihan, bila tak mampu merubah keadaan? Apalah artinya kehilangan, jika tak mampu menggugah kesadaran?

Tidak seperti menengok ke kiri dan ke kanan, aku bisa membenci dan mencintaimu dalam waktu bersamaan.

Percayalah, bahwa aku adalah nadi. Bahwa kau adalah jantung. Yang meski beda tempat berdiri, namun tak lepas hilang sambung.

Aku tidak ingin memayungimu dari hujan. Aku ingin memayungimu dengan hujan.

Kehidupan bukan seperti segelas bir, yang setiap saat terasa getir. Bukan juga seperti segelas sirup pandan, yang selalu manis di setiap tegukkan. Tapi hidup ini, seperti secangkir kopi. Pahit dan manis, hadir saling mengimbangi.