Kepada Pembacaku. Gigi yang kokoh, perut yang kuat. Itulah yang kuharapkan darimu. Dan kalau bukuku sudah kau cerna pasti kau tahu bagaimana mengerti dirimu sendiri bersamaku.

Rumah ibadah telah menjadi kuburan-kuburan Tuhan, dan digantikan dengan Tuhan-Tuhan konsepsi. Mimbar-mimbar peribadatan menasbihkan diri menjadi kehendak langsung dari Tuhan. Dogma-dogma final dan absolut menjadi makanan sehari- hari. Tuhan mati dalam mimbar-mimbar ibadah. Tuhan seakan- akan statis, diam, dan kerdil dalam konsepsi. Selain Tuhan-ku salah, inilah kematian Tuhan, dan menerbitkan Tuhan-Tuhan baru.

Menjadi sangat bahaya, ketika kita sama sekali tidak ingin salah.

Beranikah kita untuk menjadi diri sendiri secara otentik dengan pencarian terus-menerus?

Nafsu duniawi terkadang menyetubuhi nafas surgawi.

Merubah semantik kalam menjadi sejarah kelam.

Bentangan takdir merupakan pinata mimpi, yang tergantung diantara titik nadir dan puncak kulminasi.

Ditemukan-lah idealisme usang yang membakar gairah purba, dengan gejolak api semangat menyulut celengan-celengan pembangkangan, yang telah dipendam dan ditabung sejak lama. Lalu, bergumul menjadi kobaran-kobaran dialektika lewat aktualisasi diri, sampai akhirnya rinai kebenaran mendistorsi bongkahan mata lainnya, yang mendiskreditkan perjuangan.

Tidak peduli apa saja yang telah kita beli, orang lain adalah hakim tertinggi dalam hidup kita.